Ini Sisi Gelap dari Toxic Positivity!

Womenhealthypedia

Ditulis oleh:

Womenhealthypedia

09 March 2022

Share artikel ini:

Photo by Moose Photos from Pexels

Girls,
tahu nggak? Ternyata menjadi positif, nggak selamanya baik lho seperti halnya toxic positivity. Toxic positivity itu adalah sebuah asumsi buat terus berpikir baik dan positif di tengah situasi sulit atau rasa sakit emosional. Asumsi ini bisa aja datang dari diri sendiri atau orang lain. 

Mungkin kamu pernah dengar kalimat-kalimat seperti ini:
“Semuanya pasti baik-baik aja”
“Masih ada yang gak seberuntung kamu diluar sana. Bersyukur aja.”
“Kamu nggak sendirian kok!”
“Nggak usah dipikirin.”
“Sabar aja, nanti juga berlalu.”

Kalimat-kalimat di atas adalah beberapa contoh toxic positivity. Dimana orang lain atau diri kita mendorong diri untuk selalu mengeluarkan emosi yang positif dan menekan emosi negatif. Padahal, emosi negatif seperti marah, sedih, atau khawatir, juga diperlukan saat melalui masa-masa sulit.

Perasaan takut dan khawatir, secara tidak langsung membuat kita lebih aware lagi terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Dengan begitu, kehadiran rasa takut dan khawatir mampu membantu kita untuk menganalisis apa yang perlu dilakukan untuk keluar dari masalah tersebut.  

Ciri-ciri kamu mengalami Toxic Positivity

Photo by Austin Guevara from Pexels

Selain kalimat-kalimat yang sering dilontarkan seperti penjelasan sebelumnya, ini nih beberapa ekspresi dari toxic positivity
  • Sering menyembunyikan perasaan yang sedang kamu alami
  • Mencoba untuk menyingkirkan emosi tersebut dan mengabaikannya
  • Merasa bersalah atas emosi negatif. Seperti, seharusnya kamu tidak mengalami itu
  • Memberikan perspektif “yang lebih buruk” daripada memvalidasi emosi negatif lawan bicara
  • Mempermalukan atau menyangkal emosi negatif orang lain.
 
Jangan Hindari tapi Rasakan hingga Tuntas
Memang nggak mudah bagi setiap orang untuk merasa baik-baik saja, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang ini. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei terhadap kesehatan jiwa terkait Covid-19. Pada survei tersebut, ditemukan 68% responden mengaku cemas, 67% depresi, dan 77% mengalami trauma psikologis.
 
Menghindari emosi negatif tak selamanya membuat masalah cepat selesai. Malahan, toxic positivity membuat masalah semakin menumpuk dan menambah tingkatan stres. Kalau kita sering menghindari emosi yang negatif, suatu saat bisa lho meledak. Seperti air yang mengisi gelas tanpa henti. 
 
Merasakan sedih dan khawatir adalah emosi yang normal untuk dirasakan saat ini, terutama saat pandemi. Akui apa yang kamu rasakan dan alami. Kamu bisa menulisnya pada secarik kertas tentang apa yang sedang kamu rasakan. 
 
Validasi perasaan negatif tersebut, baik perasaanmu atau perasaan orang yang sedang curhat denganmu. Setiap orang berhak atas perasaannya. Daripada memberikan saran kepada mereka, lebih baik berikan tunjukkan rasa empatimu dengan memberikan dukungan dan validasi perasaan tersebut.

Istirahat sejenak dari media sosial? Tentu, bisa kamu lakukan. Media sosial selama ini memperlihat sisi baik dari kehidupan. Dengan beristirahat dari media sosial, kamu nggak perlu membandingkan diri dengan apa yang ditampilkan orang-orang di media sosial.


Photo by Julia Avamotive from Pexels

Jika kamu kewalahan atau overwhelming, nggak apa-apa untuk beristirahat sejenak. It’s okay not to be okay lho, girls! 
 
Kamu pernah mengalami toxic positivity? Yuk bagikan pengalaman kamu dan cara yang kamu lakukan untuk mengatasinya di Instagram @womenhealthypedia!
 

Other Articles